Kisah itu tidak pernah senantiasa datang tanpa akhir. Akhir itu, mungkin saja tragedi. Hampir pasti tragedi.
Ia membantahnya siang ini. Manis dan meyakinkan.
‘Tidak selamanya yang retak ditangisi atau disyukuri. Bisa jadi biasa saja. bisa jadi usai dengan senyum di kedua belah kelopak mata’
Perkenalan yang terlalu singkat. Dan tentu saja, kucing hitam ini enggan percaya. Seperti ia tak percaya pada apapun di dunia. Ia melirik tenang pada sang kucing putih. Lalu seperti itu saja mereka mencoba tertawa kembali.
Ia hanya takut mungkin. Bahwa senyum sang kucing putih adalah senyum untuk setiap yang lain. Bahwa tawa nya pula, masih milik dari yang tertinggal disana.
Karena kucing hitam terpaksa berlari dari sepi. Karena kucing hitam terlalu hitam bahkan untuk malam.
Karena itu, hanya serangkai kata terlepas dari lidahnya.
‘Kamu absurd’. Dan mungkin memang begitu.
‘Kami terbiasa melihat bintang’
Bukan jawaban terbaik yang mungkin terlontar. Namun jujur.
‘Kami pun tidak percaya’
Amat buruk. Kenyataan amat buruk yang tidak mungkin disembunyikan barang sedetik saja.
Kucing putih pun terdiam.
Kucing putih entah tak memperdulikan, entah diasingkan dari nyaman.
Kucing putih sepertinya pergi. Sepertinya tidak akan kembali.
Kisah itu, kucing putih, tidak akan selesai dengan tumpukan lembar yang kau peluk dengan hati hati. Tidak akan usai dengan nama nama yang kau sebut dengan sepenuh hati. Kisah itu, akan berakhir jika kasih berakhir.
Dan kucing hitam pun ketakutan. Terjerumus lagi dalam sunyi, karena dirinya tak akan mengerti apa itu romantisme.
Ia hanya tahu bagaimana menulisnya.
Ia hanya tahu bagaimana pahit akhirnya.
Akhir dari kisah.
Akhir dari kasih.
Lalu ia pejamkan mata tanpa kucing putihnya.
Semoga untuk malam ini saja.