Tuhan tuhan yang punah

 

Dewa dan Tuhan berbincang. Dengan metaforanya, dengan kisah satu sama lainnya. Cukup pantas jika kita para manusia merasakan adanya jarak. Adanya ide yang tidak ter raih dalam menyimak aksi mereka. Delirius, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan bagian bagian dari novel ini.

American gods adalah sebuah novel yang dirilis pada tahun 2001, buah karya pengarang termahsyur Neil Gaiman. Tidak perlu dibahas lebih lanjut luasnya pengetahuan Gaiman akan mitologi dunia, karena bukan spesifik di novel ini saja ia menunjukkan itu. Tidak perlu dibahas pula betapa Gaiman adalah penulis yang abstrak, di sisi lain mumpuni dalam meramu karakter dari bulir bulir fakta (juga deviasinya) dan imajinasi murni.

Dewa yang kotor, elegan, berkuasa, gembel, pemabuk, waras, pemarah, semuanya hadir dan dimanusiakan dengan begitu beragam, seringkali memberikan sensasi kegilaan. Kejadian serta interaksi, dengan dewa dan manusia sebagai pemerannya membangun nuansa yang entah lucu, entah satir, entah menggugah. Ifrit/supir taksi yang malang, atau leprechaun darah yang mati beku dengan sebotol minuman keras di tangannya, seolah getir. Seolah di ambang ke fanaan. Kemudian kehadiran dewa dewa baru (televisi, internet, kendaraan) yang amat tidak konvensional peng ilahi annya seolah mencambuk gaya hidup pembaca yang sedang tertawa. Benarkan kita telah menyembah tuhan baru?

Mereka akan berperang. Dewa lama dan dewa baru. Untuk satu tujuan. Entah apa.

Namun novel ini tetaplah fiksi. Kentalnya intensitas fakta yang entah dipelesetkan sedikit atau memang benar adanya di dalam novel ini, tetap ditarik menjadi khayal dengan keberadaan tokoh utama dan penceritaan menyenangkan. Shadow, seorang pria bertubuh besar menjadi sorot utama dalam peperangan ini. Satu hal yang saya senang dari dia adalah sosoknya yang tidak mengikuti tren sosok tokoh utama masa kini – kurus/tampan/pendiam/tinggi/karismatik/masa lalu kelam (coret satu atau lebih lalu kombinasikan). Shadow adalah pria besar kikuk biasa. Ia preman, ia memiliki istri cantik yang mati namun terus berjalan jalan untuk menolongnya, dan kisah cintanya sama romantisnya, sama terasa tragisnya, dengan kisah cinta zaman ini yang bertokohkan pria tampan mainstream dan wanita lemah tak berdaya. Shadow yang kehilangan tujuan hidup berkat kepergian istri nya pun bertemu Wednesday; pria yang memperkenalkan dirinya sendiri dengan nama itu karena hari itu hari rabu.

Setelah itu shadow bertemu dengan berbagai dewa. Lalu eksplorasi akan konsep ke dewaan, akan hidup, akan mitologi mitologi yang terlupakan pun dimulai. Dengan mulus. Dengan indah. Kadang berdarah.

Dua hal yang menarik dari novel ini adalah satu, proporsi ke amerikaan dari judul “American gods” sama sekali tidak disepelekan. Novel ini seperti film, yang mendeskripsikan segala hal dengan begitu detil termasuk suasana Amerika (berdasarkan cacahan imaji Gaiman) yang tokoh tokohnya lalui. Dua, para dewa selalu mengemban nilai, dan nilai nilai ini disampaikan dengan jelas. Nilai nilai yang indah dan menggugah. Namun di sisi lain seringkali pahit.

Salah satu dewi dunia baru, Media, menanggapi kematian bukan dengan ratap. Namun pemahaman akan sukacita dan derita yang berjalan ber sisian. Shadow yang dicibir ‘tidak hidup’ oleh istrinya yang mati, menemukan perasaan (bukan arti, karena arti bisa dikatakan abstrak dan hampir tidak ada) hidup dari kesekaratannya. Lalu pilihan untuk hilang. Bukan menjalani afterlife yang gamang, tetapi menuju kehampaan yang tenang. Sayangnya, akhir itu tidak akan pernah ada, seru Whiskey Jack kepada shadow yang mempertanyakan ‘apakah ini akhir yang indah?’

Banyak virtue lain yang disampaikan. Baik metaforis, atau dengan struktur yang amat tidak lazim. Tetap megah namun meminta pemikiran lebih lanjut akan ‘apa ini yang baru saja saya baca’. Tokoh tokoh penyampainya, para dewa dewa dengan nama dunia seperti Mr. Ibis untuk Thoth, Mr. Nancy untuk Anansi, tetap pada akhirnya bisa mati. Juga banyak dari mereka tetap mempercayai adanya pencipta, kekuatan besar, yang mengatur mereka, membawa nasib mereka, tuhan dari para tuhan. Adakah?

Dewa, bagi Gaiman, adalah konsekuensi imajinasi dan ketakutan umat. Mereka terpaksa lahir namun manusia tidak bertanggung jawab untuk menghidupinya. Kita tidak lagi berdoa, kita melakukan penelusuran data. Kita tidak lagi memberikan persembahan, kita bepergian dengan kendaraan. Kita tidak lagi percaya, kita menonton.

Kita lah pembunuh dewa dewa Gaiman.

‘But you know what, I like humans better than gods’ — Shadow

Leave a comment